ANTARA RUMAH, PETA, DAN PERJALANAN KAPAL LAYAR
1 Mei 2022
Hari terakhir puasa
Menyambut Idul Fitri di hari esok
Beberapa pekan silam, kami (re: pasutri gaje) melalui perdebatan yang cukup hebat mengenai topik kepindahan rumah. Kebetulan kontrakan dekat kantor saya sebentar lagi akan berakhir pada bulan Juni 2022. Otomatis kami dihadapkan pada pilihan melanjutkan kontrakan atau membeli rumah tetap. Kebetulan saya dikejutkan oleh harga rumah teman saya yang dijual di dekat kantor, dikarenakan beliau dipindahtugaskan ke jogjakarta, dengan harga fantastis > 1M. Dengan luas tanah 61 meter dan luas bangunan 122 meter, serta baru beberapa tahun silam direnovasi. Perlu diketahui bahwa bukan harapan lagi jika ingin mendapatkan rumah tapak di pusat ibu kota metropolitan yang bisa masuk kendaraan roda empat. Maklum kepadatan penduduk di area ini cukup tinggi. Satu dan cukup banyak survei yang telah kami lakukan untuk berikhtiar mendapatkan rumah di dekat kantor saya yang dapat mensupport saya untuk tetap dekat dengan anak-anak dan bisa mengurus keperluan rumah tangga. Namun, realita tidak semanis harapan. Rumah harapan kami memiliki harga yang tak sesuatu dengan budget kami. Hal inilah yang mendasari keputusan saya untuk mengambil rumah di dekat mertua, dimana beliau memiliki teman yang hendak menjual rumahnya namun pembayarannya dapat dilakukan metode mencicil, sehingga kami tidak perlu mengambil KPR. Penawaran yang cukup menarik bukan?
Namun, tentu kembali kepada realita tidak semanis harapan. Mimpi saya untuk memiliki rumah sendari dengan dibalut dekorasi japandi atau american farmhouse yang dihiasi taman dan kolam ikan, pupus seketika suami saya dengan tegas tidak menyetujui keputusan pengambilan rumah tersebut.
Tentu saja keputusan tersebut memiliki alasan.
Apa itu?
Rumah yang ditawarkan tersebut hanya seluas kurang dari 50 meter dan hanya terdiri 1 KT dengan segala kesederhanaannya.
Suami saya mempertimbangkan bagaimana dengan kamar anak sulung kami yang sudah menginjak sekolah dasar. Lalu bagaimana kamar untuk art kami.
Sebetulnya saya sudah menawarkan solusi dengan partisi kamar menggunakan triplek dan baja ringan yang tidak mengurus kantong cukup dalam.
Tetapi muncullah 1000 alasan lainnya yang saya tidak habis pikir, seperti ayolah saya dibesarkan di rumah yang cukup besar kenapa rumah saya ini sangat kecil untuk badan saya yang besar.
Dan 1000 alasan tersebut ditutup oleh 1 alasan terakhir yaitu saya tidak ingin memasuki hunian yang disebut rumah yang saya tidak senang akan hunian tersebut.
Baiklah saya memahami dan mencoba mencarikan berbagai alternatif lainnya selain rumah tersebut.
Seketika ada juga hunian 100 meter yang mengetuk hati beliau dan membobardir jiwa saya karena harganya yang perlu dilunasi dengan cicilan selama 20 Tahun.
Sejujurnya, alasan mendasar keinginan saya untuk memiliki rumah adalah untuk anak-anak kedepannya. Namun, jika 20 Tahun saya khawatir pendidikan anak-anak terganggu karena masa cicilannya yang terlalu panjang.
Akhirnya, saya menyampaikan keberatan saya dan beliaupun memahami.
Setelah saya membaca jurnal yang mengupas terkait maqashid asy-syari’ah, dan bagaimana pembagian peran antara kedua orang tua yang bekerja.
Saya dengan kecukupan hati menyampaikan kepada suami saya bahwa mari kita kembalikan lagi pada awal mulanya terkait kebutuhan primer pertanggungjawaban dari sandang, pangan, dan papan.
Awalnya suami saya tidak terima karena cicilan kontrakan harus beliau yang menanggung semuanya tapi berlalunya waktu, saya menyampaikan bahwa insyaallah saya akan bantu cicilan kontrakan tapi tidak seperti dulu lagi dimana pembagiannya adalah 50:50 karena sekarang saya punya tanggungan untuk membiayai art yang gajinya setahun pun hampir seharga kontrakan kami.
Beliaupun menyetujui.
Saya pasrahkan hati sepenuhnya jika memang jalanNya lah untuk tidak memiliki hunian pribadi saat ini, dibandingkan harus terjerat hutang piutang dan mengorbankan dua hati mungil tanpa dosa.
Sabar adalah koentji, percaya adalah jalan abadi, dan keikhlasan adalah bukti percaya terhadap diri sendiri.
Hikmah yang dapat diambil: Keluarga seperti kapal yang berlayar. Nakhoda adalah kepala keluarga yang mengambil keputusan. Seorang pendamping berusaha memberikan kontribusi dan sumbangsing pemikiran, tenaga, serta waktu sebagai navigator atau pemegang peta. Meskipun sang navigator telah menyampaikan usulan perjalanan kapal, namun apabila nakhoda tidak menyetui maka itulah hasil akhirnya. Navigator memang memegang peta, namun nakhoda memegang roda kendali. Awak kabin dan kru kapal layar bergantung kepada lajunya kapal layar ini. Apakah akan mulus melewati samudra ataukah terombang-ambing menghadapi ombak lautan. Tapi kami harus percaya, karena kami sudah memilih nakhoda bahkan sebelum kapal ini berlayar.
Semoga kami bisa berlayar sampai tujuan dengan selamat apapun halang rintangan yang mungkin menghadang.
NB: Terimakasih kepada kebesaran hati dan tetes air mata diri yang telah membersamai hingga saat ini.
Komentar
Posting Komentar